Jurnalis Perempuan di Sidoarjo Diintimidasi Saat Liputan Sampah di Krian, KJJT Kecam Tindakan Represif

Sidoarjo – jatimone.com – Kasus intimidasi terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini menimpa Aminatus Sakdiyah, seorang jurnalis perempuan dari media daring Wartawati, sekaligus anggota Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) wilayah Sidoarjo. Ia mendapat perlakuan intimidatif saat melakukan peliputan persoalan sampah di kawasan Krian, Sidoarjo, Jumat (17/5/2025).

Peristiwa berawal saat Aminatus mendatangi lokasi tumpukan sampah di Jalan Wahidin Sudiro Husodo, tepatnya di depan UPTD Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Krian, setelah menerima aduan dari masyarakat. Ia mengambil dokumentasi berupa foto untuk kepentingan pemberitaan.

Namun, aktivitas jurnalistik tersebut justru memicu amarah sejumlah pihak. Seorang tokoh agama setempat menegur Aminatus, mempertanyakan dan mempersoalkan tindakan peliputan yang dilakukan. Tak berhenti di situ, ia kemudian digiring ke Balai RW 08, dan di sana mendapat tekanan secara verbal.

“Saya diminta mengakui hal-hal yang tidak saya lakukan. Bahkan dituduh menerima uang dari pihak pengelola sampah, tanpa bukti apa pun,” ujar Aminatus.

Tak hanya tekanan mental, ia juga merasa diteror secara sosial. “Saya dan anak-anak mulai dikucilkan warga sekitar. Bahkan ada ancaman agar saya pindah dari rumah,” lanjutnya.

Lebih miris, saat berada di balai RW, Aminatus mendapati dirinya direkam oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Meski mengingat wajahnya, ia mengaku tidak tahu nama atau identitas pelaku.

Komunitas Jurnalis Jawa Timur mengecam keras tindakan intimidasi tersebut. Ketua KJJT Sidoarjo, Arri Pratama, menyebut bahwa perlakuan terhadap Aminatus merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya:

Pasal 4 ayat (3) yang menegaskan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

Pasal 8, yang menyatakan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Pasal 18 ayat (1), yang menyebut bahwa setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.

“Intimidasi terhadap jurnalis adalah ancaman serius terhadap kemerdekaan pers. Ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Arri.

Setelah kejadian tersebut, Aminatus bersama pengurus KJJT mendatangi kantor Kelurahan Krian untuk melaporkan insiden tersebut. Mereka diterima oleh Sekretaris Kelurahan dan staf Kesra, karena Lurah Krian tidak berada di tempat.

Hasilnya, pihak kelurahan sepakat untuk mengadakan pertemuan lanjutan dengan melibatkan seluruh unsur terkait secara resmi dan terbuka.

Namun, pada malam harinya, Aminatus kembali dipanggil oleh beberapa orang ke Balai RW dengan alasan penyelesaian masalah. KJJT menolak keras upaya tersebut karena dinilai dapat mengarah pada tekanan psikologis lanjutan.

“Kami minta tidak ada pertemuan tanpa pendampingan komunitas jurnalis. Keselamatan korban dan legalitas prosedur harus jadi prioritas,” ujar Arri.

Sejumlah pihak yang dikonfirmasi jurnalis termasuk Ketua RT setempat, Aji Margono, dan seorang warga bernama Muklas yang mengaku sebagai pengaman lokasi—masih belum memberikan keterangan resmi. Muklas bahkan mengusulkan penyelesaian malam itu juga, tanpa mempertimbangkan kondisi korban.

KJJT memastikan akan terus mengawal kasus ini dan menempuh jalur hukum jika tidak ada penyelesaian yang adil dan terbuka.

“Jika tidak ada itikad baik, kami siap turun aksi di wilayah tersebut. Ini bukan soal individu, tapi soal harga diri profesi jurnalis dan perlindungan atas kerja jurnalistik,” tegas Arri.

Insiden ini menambah daftar panjang kekerasan dan tekanan terhadap jurnalis di lapangan, yang kerap terjadi saat wartawan menjalankan fungsi kontrol sosialnya. KJJT menyerukan kepada seluruh pihak, khususnya aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat, untuk tidak menghalangi kerja jurnalistik yang sah dan dilindungi undang-undang.

Penulis: JufEditor: Rosi