Home / Artikel / Fenomena Jual Beli COD: Antara Kekosongan Hukum dan Keresahan Sosial

Fenomena Jual Beli COD: Antara Kekosongan Hukum dan Keresahan Sosial

Oleh: Yolies Yongky Nata
Mahasiswa Program Doktoral UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Akhir-akhir ini, sistem jual beli dengan metode Cash on Delivery(COD) kembali menjadi sorotan publik. Banyak kasus ricuh antara kurir dan konsumen yang berakhir dengan pertengkaran, bahkan kekerasan. Persoalan ini muncul karena belum adanya regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur sistem jual beli online melalui COD, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Jual Beli dalam Perspektif Hukum

Secara hukum, jual beli adalah perjanjian di mana penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar harga yang disepakati. Hal ini diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata.

Syarat sah perjanjian ditegaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Kesepakatan para pihak,

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian (capacity),

3. Suatu hal tertentu (objek yang jelas),

4. Sebab yang halal (tidak bertentangan dengan hukum/ketertiban umum).

Dalam praktik jual beli konvensional, unsur-unsur ini dapat dipenuhi karena penjual dan pembeli bertemu langsung, melihat barang, lalu menyepakati harga. Namun dalam jual beli online, khususnya COD, unsur kepastian mengenai objek barang sering kali tidak terpenuhi. Barang yang datang kerap tidak sesuai dengan yang ditawarkan, sehingga timbul kekecewaan konsumen.

Kekosongan Aturan dalam Sistem COD

Sejauh ini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai mekanisme COD. Memang, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengakui keabsahan kontrak elektronik (Pasal 18), dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin hak konsumen atas informasi yang benar. Selain itu, PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) mengatur perdagangan online. Namun, seluruh aturan tersebut tidak secara spesifik menyentuh persoalan COD. Akibatnya, posisi kurir kerap dipandang sebagai wakil penjual, sehingga konsumen yang kecewa melampiaskan kemarahannya kepada kurir, padahal secara hukum kurir hanyalah pihak ketiga yang bertugas mengantar barang dan menerima upah jasa pengiriman.

Dampak Sosial dan Akibat Hukum: Kurir dan Pembeli Sama-sama Jadi Korban

Fenomena sosial yang berkembang menunjukkan kurir sering menjadi sasaran amarah konsumen. Padahal, kurir tidak ikut menentukan kualitas barang, harga, maupun kesepakatan jual beli. Ketidakjelasan peran kurir dalam transaksi COD ini menimbulkan kerugian sosial, konflik horizontal, bahkan potensi tindak pidana.Lebih jauh lagi, pembeli pun sering kali menjadi korban akibat hukum yang tidak jelas. Banyak pembeli yang berniat meminta haknya, yaitu pengembalian uang atau barang karena tidak sesuai dengan penawaran. Namun, karena aturan tentang mekanisme pengembalian tidak diatur secara khusus dan tidak disosialisasikan oleh pemerintah, situasi ini menimbulkan ambiguitas dan multitafsir.  Dalam praktiknya, pembeli yang hanya menuntut haknya bisa dianggap melakukan perbuatan melawan hukum atau bahkan berujung pidana, padahal posisi pembeli justru dirugikan akibat barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Hal ini memperlihatkan betapa ketidakjelasan regulasi COD justru menimbulkan kriminalisasi konsumen.

Peran Negara yang Diharapkan

Sayangnya, hingga kini pemerintah dan legislatif belum serius merespons keresahan masyarakat mengenai COD. Ironisnya, masyarakat justru disuguhi tontonan para wakil rakyat yang sibuk berjoget di Senayan, sementara keresahan rakyat kecil diabaikan.

Seharusnya, DPR dan pemerintah segera membentuk regulasi khusus tentang sistem COD. Regulasi tersebut harus mengatur secara tegas:

• Tanggung jawab penjual atas barang yang ditawarkan,

• Hak konsumen untuk menolak atau mengembalikan barang yang tidak sesuai,

• Kedudukan kurir sebagai pihak ketiga yang netral,

• Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa yang tidak merugikan pembeli,

• Kepastian hukum agar pembeli tidak dikriminalisasi ketika menuntut haknya.

Penutup

Sistem COD, yang awalnya dimaksudkan untuk mempermudah konsumen, justru sering menimbulkan kegaduhan karena kekosongan hukum. Tanpa aturan yang jelas, konflik antara penjual, pembeli, dan kurir akan terus terjadi.  Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menghadirkan aturan lex specialismengenai jual beli online, khususnya COD, agar kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan bagi semua pihak benar-benar terwujud.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *